Kamis, 11 Juli 2013

TNI DAN BUDAYA KEKERASAN SUKU DAYAK


Dok/antara
Operasi penumpasan gerakan PGRS/Paraku menghidupkan kembali budaya kekerasan suku Dayak.

Operasi penumpasan gerakan Pasukan Gerilya Rakyat Sarawak/Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (PGRS/Paraku) di sepanjang perbatasan Republik Indonesia-Federasi Malaysia di Kalimantan, tahun 1966-1982, berimplikasi membangkitan kembali budaya kekerasan di kalangan suku Dayak di Kalimantan.
Ini dibuktikan dengan aksi pengusiran dan pembunuhan sadis sekitar 30.000 warga Tionghoa dari pedalaman dan perbatasan akibat pemberitaan di Radio Republik Indonesia (RRI) regional Pontianak pada 21 September 1967 yang mencatut nama Johanes Chrisostomus Oevaang Oeray (Gubernur Kalimantan Barat, 1959-1966), untuk menyatakan perang terhadap PGRS/Paraku.
Aksi pembunuhan dan pengusiran tersebut merupakan tragedi kemanusiaan paling memilukan sepanjang sejarah Kalimantan Barat. Aksi tersebut meletus di sejumlah titik, antara lain di luar Kota Bengkayang, Serimbu, Sungai Betung, Sebayaan, Selakau, Samalantan, Tumang, Mempawah Hulu, Menjalin, Toho, Sangking, Sungai Pinggan, Mandor, Capkala, Sosok, dan Ngabang.
Dari laporan masyarakat di lokasi kerusuhan, ada cukup banyak lelaki berkulit gelap dan rambut cepak berbaur di tengah massa yang perannya terkesan lebih sebagai provokator.
Pengungsi menumpuk di Sambas, Singkawang, dan Pontianak. Berdasarkan catatan Kodam XII/Tanjungpura pengungsi berjumlah 101.700 orang, 43.425 jiwa di antaranya kemudian diputuskan direlokasi di Peniti Kecil, Air Hitam, sekitar Tugu Khatulistiwa Siantan, Sedau dan Sungai Selamat. Insiden tahun 1967 kemudian ditetapkan pemerintah pusat sebagai bencana nasional.

SIMPAK BELIUNG: POTRET KETIDAKADILAN EKONOMI DI PERBATASAN


Sinar Harapan
Lebih dari 60 persen lahan perkebunan kelapa sawit di Kalbar dikuasai investor dari Malaysia.

Di kalangan masyarakat suku Dayak Kantuk dan suku Dayak Iban di wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia, tepatnya di wilayah Kecamatan Puring Kencana, Kecamatan Ampanang, dan Kecamatan Badau, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat (Kalbar), ada istilah “simpak beliung”.
Simpak beliung adalah uang tali alih yang diberikan kepada masyarakat lokal pemilik lahan secara tradisional oleh salah satu perusahaan kelapa sawit terbesar di Indonesia, setiap kali membuka lahan perkebunan kelapa sawit.
Terjemahan harafiah dari kata simpak adalah sompel. Beliung adalah sejenis kapak, alat tebang tradisional yang digunakan untuk menebang tegakan pohon di hutan. Bagi warga yang mau meminjamkan lahannya secara tertulis dan mengikat selama satu siklus tanam, 25-30 tahun, maka diberikan uang simpak beliung Rp 250.000 per hektare.