Dok/antara |
Operasi penumpasan gerakan Pasukan
Gerilya Rakyat Sarawak/Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (PGRS/Paraku)
di sepanjang perbatasan Republik Indonesia-Federasi
Malaysia di Kalimantan, tahun 1966-1982,
berimplikasi membangkitan kembali budaya kekerasan di kalangan suku
Dayak di Kalimantan.
Ini dibuktikan dengan aksi pengusiran
dan pembunuhan sadis sekitar 30.000 warga Tionghoa dari pedalaman dan
perbatasan akibat pemberitaan di Radio Republik Indonesia (RRI)
regional Pontianak pada 21 September 1967 yang mencatut nama Johanes
Chrisostomus Oevaang Oeray (Gubernur Kalimantan Barat, 1959-1966),
untuk menyatakan perang terhadap PGRS/Paraku.
Aksi pembunuhan dan pengusiran tersebut
merupakan tragedi kemanusiaan paling memilukan sepanjang sejarah
Kalimantan Barat. Aksi tersebut meletus di sejumlah titik, antara
lain di luar Kota Bengkayang, Serimbu,
Sungai Betung, Sebayaan, Selakau, Samalantan, Tumang, Mempawah Hulu,
Menjalin, Toho, Sangking, Sungai Pinggan, Mandor, Capkala, Sosok, dan
Ngabang.
Dari laporan masyarakat di lokasi
kerusuhan, ada cukup banyak lelaki berkulit gelap dan rambut cepak
berbaur di tengah massa yang perannya terkesan lebih sebagai
provokator.
Pengungsi menumpuk di Sambas,
Singkawang, dan Pontianak. Berdasarkan
catatan Kodam XII/Tanjungpura pengungsi berjumlah
101.700 orang, 43.425 jiwa di antaranya
kemudian diputuskan direlokasi di Peniti Kecil, Air Hitam, sekitar
Tugu Khatulistiwa Siantan, Sedau dan Sungai Selamat. Insiden tahun
1967 kemudian ditetapkan pemerintah pusat sebagai bencana nasional.