Sinar Harapan |
Di kalangan
masyarakat suku Dayak Kantuk dan suku Dayak Iban di wilayah
perbatasan Indonesia-Malaysia, tepatnya di wilayah Kecamatan Puring
Kencana, Kecamatan Ampanang, dan Kecamatan Badau, Kabupaten Kapuas
Hulu, Kalimantan Barat (Kalbar), ada istilah “simpak beliung”.
Simpak beliung
adalah uang tali alih yang diberikan kepada masyarakat lokal pemilik
lahan secara tradisional oleh salah satu perusahaan kelapa sawit
terbesar di Indonesia, setiap kali membuka lahan perkebunan kelapa
sawit.
Terjemahan harafiah dari kata simpak adalah sompel. Beliung
adalah sejenis kapak, alat tebang tradisional yang digunakan untuk
menebang tegakan pohon di hutan. Bagi warga yang mau meminjamkan
lahannya secara tertulis dan mengikat selama satu siklus tanam, 25-30
tahun, maka diberikan uang simpak beliung Rp 250.000 per hektare.
Uang simpak beliung Rp 250.000 per
hektare merupakan potret ketidakadilan ekonomi bagi masyarakat,
termasuk masyarakat yang bermukim di perbatasan Indonesia-Malaysia di
Kalimantan. Ini karena setelah menyerahkan tanah, masyarakat pemilik
lahan tradisional sudah tidak memiliki hak lagi selama satu siklus
tanam.
Apabila masyarakat ingin menjadi petani
peserta maka diberlakukan pola 80:20. Artinya, masyarakat secara
sukarela meminjam pakai lahan secara tradisional seluas 80 persen
dari tanah yang dimiliki, untuk selanjutnya dibayar uang simpak
beliung Rp 250.000 per hektare.
Sisa lahan bagi masyarakat penyerah
lahan sebesar 20 persen dijanjikan akan dibangun kebun plasma.
Kendati sudah menyerahkan lahan untuk dipinjam pakai selama satu
siklus tanam, masyarakat penyerah lahan harus pula menanggung beban
kredit berkisar antara Rp 70-140 juta per hektare selama satu siklus
tanam.
Jadi Buruh
Satu-satunya jaminan yang didapat
masyarakat adalah diterima menjadi buruh harian oleh perusahaan,
dengan gaji Rp 50.000-62.500 per hari. Perusahaan kelapa sawit
tersebut selama satu siklus tanam akan menikmati keuntungan
menggiurkan, dengan tingkat penghasilan di atas Rp 4 juta per hektare
per bulan.
Rinciannya, per hektare lahan ditanam 128 pohon, di
mana produksi per pohon 30 kilogram tiap kali panen, dengan harga
satuan Tandan Buah Segar (TBS) Rp 1.300 (per Juni 2013), maka uang
yang diraup oleh perusahaan kelapa sawit mencapai Rp 4,992 juta tiap
kali panen.
Apabila panen diberlakukan tiga kali
per bulan, uang yang diraup perusahaan kelapa sawit dari “menipu”
petani pemilik lahan tradisional di Kecamatan Puring Kencana,
Kecamatan Ampanang, dan Kecamatan Badau, Kabupaten Kapuas Hulu,
sebesar Rp 11,976 juta per hektare per bulan, menjadi Rp 143,712 juta
per hektare per tahun dan melonjak Rp 2,874 miliar per hektare dalam
rentang waktu 20 tahun masa tanaman produktif. Sementara itu
investasi per hektare kebun kepala sawit tidak lebih dari Rp 80 juta.
Kepala Desa Nanga Kantuk, Kecamatan
Ampanang, Sudirman, mengaku tidak bisa berbuat banyak dalam
menghadapi ekspansi perkebunan kelapa sawit berskala besar di
wilayahnya. Kekuatan uang pemilik modal telah membuat masyarakat
terlena.
“Masyarakat butuh pekerjaan tetap
untuk bertahan hidup dan menyekolahkan anak-anak. Sementara
perusahaan perkebunan ini menjanjikan bagi masyarakat yang terjebak
kepentingan pragmatis. Saya tidak memiliki kemampuan untuk melarang
masyarakat menyerahkan lahan. Saya hanya bisa mengimbau,” ujar
Sudirman.
Hukum Pasar
Kesemerawutan perkebunan kelapa sawit
di Kalbar menunjukkan potret betapa dahsyatnya pembangunan ekonomi
yang berorientasi hukum pasar di Indonesia. Di dalam teori hukum
pasar, kekuatan uang selalu akan keluar sebagai pemenang di dalam
perebutan sumber daya alam.
Tapi kekuatan ekonomi yang berbasis
hukum pasar suatu saat nanti tetap akan menimbulkan konflik
berkepanjangan, seiring dengan semakin tingginya tingkat kesadaran
masyarakat di dalam menuntut hak hidupnya.
Karena itulah Kapolda
Kalbar Brigjen Tugas Dwi Apriyanto, di sela-sela seminar hukum adat
di Pontianak April lalu, memprediksi perkebunan kelapa sawit di
Kalbar menjadi sumber utama pemicu konflik di masa mendatang.
“Ada 85 titik potensi konflik di
Kalimantan Barat, dan sebagian besar bersumbu kepada status
kepemilikan lahan perkebunan kelapa sawit antara masyarakat dan
investor. Ini mesti disikapi secara lebih serius, dan polisi tidak
ingin hanya sendirian sebagai pemadam kebakaran di dalam menghadapi
gejolak sosial masyarakat,” kata Apriyanto.
Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara
(AMAN) Kabupaten Kapuas Hulu, Ringgai, menilai ada semacam kesadaran
baru masyarakat di dalam menuntut haknya atas tanah, setelah Mahkamah
Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan AMAN pada 16 Mei 2013. Dalam
putusan MK, status tanah adat sudah tidak lagi masuk di dalam status
tanah negara.
“Pascaputusan MK, tanah adat
dipisahkan dari tanah negara, karena sebelum negara lahir, masyarakat
adat sudah ada. Sekarang memang dibutuhkan sikap arif dan bijaksana,
serta sikap cerdas pemerintah di dalam menerapkan program
pembangunan, agar tidak menimbulkan konflik berkepanjangan,” ujar
Ringkai.
Dikuasai Malaysia
Selain menimbulkan ketidakadilan
ekonomi, program pembangunan yang semata-mata mengedepankan hukum
pasar pada kenyataannya telah mengusik rasa nasionalisme segenap
lapisan masyarakat di Provinsi Kalbar. Kepala Badan Penanaman Modal
Daerah (BPMD) Provinsi Kalbar Sri Jumiatin mengakui lebih dari 60
persen lahan perkebunan kelapa sawit di Kalbar dikuasai investor dari
Federasi Malaysia.
BPMD Provinsi Kalbar mencatat per April
2013, produksi kelapa sawit di sana, yang terdiri dari produksi
perkebunan rakyat, mencapai 401,894 ton, produksi perkebunan negara
mencapai 132,099 ton, dan produksi perkebunan swasta mencapai 347,775
ton.
Luas area untuk perkebunan kelapa sawit di Kalbar terdiri dari
perkebunan rakyat seluas 189.255 hektare, perkebunan negara 42.072
hektare, dan perkebunan swasta 299.248 hektare.
Indonesia dicatat
sebagai produksi minyak mentah kelapa sawit atau Crude Palm Oil (CPO)
terbesar di dunia, dengan total produksi 19,844 juta ton pada 2012,
dengan luas lahan keseluruhan 17,824 juta hektare. Secara nasional,
investor dari Federasi Malaysia masih tercatat mendominasi
kepemilikan lahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia.
Sumber : AJU, Sinar Harapan
Bismillahi Rahmanirrohim..
BalasHapusKisah nyata dari saya seorang TKI Yang bekerja di Arab Saudi.SAYA RAHMA WATI
Saya mau mengucapkan terima ksih yg tidak terhingga, serta penghargaan & rasa kagum yg setinggi-tingginya kepada AKI DEWA saya sudah kerja sebagai TKI selama 9 tahun di Arab Saudi.,dengan gaji lebih kurang 5jt/bln, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,apalagi setiap bulan harus membayar kontarakan, sudah lama saya mengetahui dan juga sudah lama mendengar nama besar AKI DEWA,tapi saya termasuk orang yang tidak terlalu percaya dengan hal ghoib, jadi saya pikir ini pasti kerjaan orang iseng .yang mau menipu.tetapi kemarin saya memutuskan meranikan diri untuk mencoba menuruti rasa keraguan saya,tetapi ini smua di luar dugaan saya,
angka yang telah diberikan AKI DEWA Alhamdulillah ternyata tembus 100% .mulanya saya bilang saya seorang TKI Yang kerja di Arab Saudi mau pulang tidak ada ongkos,
terus beliau bantu kasih angka. mulanya saya tdk percaya,mana mungkin angka ini keluar, tapi dengan penuh pengharapan saya pasangin kali 100 lembar, sisa gaji bulan April ternyata berhasil….!!!
dapat BLT 475jt, sekali lagi terima kasih banyak AKI DEWA saya sudah kapok kerja jadi TKI, rencana bulan depan mau pulang aja ke INDO.buat. AKI DEWA saya tidak akan lupa jasa
bantuan dan budi baik AKI DEWA bagi teman2 tki dan tkw
yang ingin merubah nasib dan sudah tidak sudi jadi tki dan tkw di negara org lain seperti saya silahkan hubungi KARAMA di nomor 085=222=500=175 belia akan menbantu yang pentin tulus dan iklas .demikian kisah nyata dari saya Wassalam,
Demi allah ini kisah nyata dari saya rekayasa. situs beliau ==https://www.facebook.com/profile.php?id=100010574983208