Kamis, 11 Juli 2013

SIMPAK BELIUNG: POTRET KETIDAKADILAN EKONOMI DI PERBATASAN


Sinar Harapan
Lebih dari 60 persen lahan perkebunan kelapa sawit di Kalbar dikuasai investor dari Malaysia.

Di kalangan masyarakat suku Dayak Kantuk dan suku Dayak Iban di wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia, tepatnya di wilayah Kecamatan Puring Kencana, Kecamatan Ampanang, dan Kecamatan Badau, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat (Kalbar), ada istilah “simpak beliung”.
Simpak beliung adalah uang tali alih yang diberikan kepada masyarakat lokal pemilik lahan secara tradisional oleh salah satu perusahaan kelapa sawit terbesar di Indonesia, setiap kali membuka lahan perkebunan kelapa sawit.
Terjemahan harafiah dari kata simpak adalah sompel. Beliung adalah sejenis kapak, alat tebang tradisional yang digunakan untuk menebang tegakan pohon di hutan. Bagi warga yang mau meminjamkan lahannya secara tertulis dan mengikat selama satu siklus tanam, 25-30 tahun, maka diberikan uang simpak beliung Rp 250.000 per hektare.

Uang simpak beliung Rp 250.000 per hektare merupakan potret ketidakadilan ekonomi bagi masyarakat, termasuk masyarakat yang bermukim di perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan. Ini karena setelah menyerahkan tanah, masyarakat pemilik lahan tradisional sudah tidak memiliki hak lagi selama satu siklus tanam.
Apabila masyarakat ingin menjadi petani peserta maka diberlakukan pola 80:20. Artinya, masyarakat secara sukarela meminjam pakai lahan secara tradisional seluas 80 persen dari tanah yang dimiliki, untuk selanjutnya dibayar uang simpak beliung Rp 250.000 per hektare.
Sisa lahan bagi masyarakat penyerah lahan sebesar 20 persen dijanjikan akan dibangun kebun plasma. Kendati sudah menyerahkan lahan untuk dipinjam pakai selama satu siklus tanam, masyarakat penyerah lahan harus pula menanggung beban kredit berkisar antara Rp 70-140 juta per hektare selama satu siklus tanam.
Jadi Buruh
Satu-satunya jaminan yang didapat masyarakat adalah diterima menjadi buruh harian oleh perusahaan, dengan gaji Rp 50.000-62.500 per hari. Perusahaan kelapa sawit tersebut selama satu siklus tanam akan menikmati keuntungan menggiurkan, dengan tingkat penghasilan di atas Rp 4 juta per hektare per bulan.
Rinciannya, per hektare lahan ditanam 128 pohon, di mana produksi per pohon 30 kilogram tiap kali panen, dengan harga satuan Tandan Buah Segar (TBS) Rp 1.300 (per Juni 2013), maka uang yang diraup oleh perusahaan kelapa sawit mencapai Rp 4,992 juta tiap kali panen.
Apabila panen diberlakukan tiga kali per bulan, uang yang diraup perusahaan kelapa sawit dari “menipu” petani pemilik lahan tradisional di Kecamatan Puring Kencana, Kecamatan Ampanang, dan Kecamatan Badau, Kabupaten Kapuas Hulu, sebesar Rp 11,976 juta per hektare per bulan, menjadi Rp 143,712 juta per hektare per tahun dan melonjak Rp 2,874 miliar per hektare dalam rentang waktu 20 tahun masa tanaman produktif. Sementara itu investasi per hektare kebun kepala sawit tidak lebih dari Rp 80 juta.
Kepala Desa Nanga Kantuk, Kecamatan Ampanang, Sudirman, mengaku tidak bisa berbuat banyak dalam menghadapi ekspansi perkebunan kelapa sawit berskala besar di wilayahnya. Kekuatan uang pemilik modal telah membuat masyarakat terlena.
“Masyarakat butuh pekerjaan tetap untuk bertahan hidup dan menyekolahkan anak-anak. Sementara perusahaan perkebunan ini menjanjikan bagi masyarakat yang terjebak kepentingan pragmatis. Saya tidak memiliki kemampuan untuk melarang masyarakat menyerahkan lahan. Saya hanya bisa mengimbau,” ujar Sudirman.
Hukum Pasar
Kesemerawutan perkebunan kelapa sawit di Kalbar menunjukkan potret betapa dahsyatnya pembangunan ekonomi yang berorientasi hukum pasar di Indonesia. Di dalam teori hukum pasar, kekuatan uang selalu akan keluar sebagai pemenang di dalam perebutan sumber daya alam.
Tapi kekuatan ekonomi yang berbasis hukum pasar suatu saat nanti tetap akan menimbulkan konflik berkepanjangan, seiring dengan semakin tingginya tingkat kesadaran masyarakat di dalam menuntut hak hidupnya.
Karena itulah Kapolda Kalbar Brigjen Tugas Dwi Apriyanto, di sela-sela seminar hukum adat di Pontianak April lalu, memprediksi perkebunan kelapa sawit di Kalbar menjadi sumber utama pemicu konflik di masa mendatang.
“Ada 85 titik potensi konflik di Kalimantan Barat, dan sebagian besar bersumbu kepada status kepemilikan lahan perkebunan kelapa sawit antara masyarakat dan investor. Ini mesti disikapi secara lebih serius, dan polisi tidak ingin hanya sendirian sebagai pemadam kebakaran di dalam menghadapi gejolak sosial masyarakat,” kata Apriyanto.
Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kabupaten Kapuas Hulu, Ringgai, menilai ada semacam kesadaran baru masyarakat di dalam menuntut haknya atas tanah, setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan AMAN pada 16 Mei 2013. Dalam putusan MK, status tanah adat sudah tidak lagi masuk di dalam status tanah negara.
“Pascaputusan MK, tanah adat dipisahkan dari tanah negara, karena sebelum negara lahir, masyarakat adat sudah ada. Sekarang memang dibutuhkan sikap arif dan bijaksana, serta sikap cerdas pemerintah di dalam menerapkan program pembangunan, agar tidak menimbulkan konflik berkepanjangan,” ujar Ringkai.
Dikuasai Malaysia
Selain menimbulkan ketidakadilan ekonomi, program pembangunan yang semata-mata mengedepankan hukum pasar pada kenyataannya telah mengusik rasa nasionalisme segenap lapisan masyarakat di Provinsi Kalbar. Kepala Badan Penanaman Modal Daerah (BPMD) Provinsi Kalbar Sri Jumiatin mengakui lebih dari 60 persen lahan perkebunan kelapa sawit di Kalbar dikuasai investor dari Federasi Malaysia.
BPMD Provinsi Kalbar mencatat per April 2013, produksi kelapa sawit di sana, yang terdiri dari produksi perkebunan rakyat, mencapai 401,894 ton, produksi perkebunan negara mencapai 132,099 ton, dan produksi perkebunan swasta mencapai 347,775 ton.
Luas area untuk perkebunan kelapa sawit di Kalbar terdiri dari perkebunan rakyat seluas 189.255 hektare, perkebunan negara 42.072 hektare, dan perkebunan swasta 299.248 hektare.
Indonesia dicatat sebagai produksi minyak mentah kelapa sawit atau Crude Palm Oil (CPO) terbesar di dunia, dengan total produksi 19,844 juta ton pada 2012, dengan luas lahan keseluruhan 17,824 juta hektare. Secara nasional, investor dari Federasi Malaysia masih tercatat mendominasi kepemilikan lahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia.
Sumber : AJU,  Sinar Harapan

1 komentar:

  1. Bismillahi Rahmanirrohim..
    Kisah nyata dari saya seorang TKI Yang bekerja di Arab Saudi.SAYA RAHMA WATI
    Saya mau mengucapkan terima ksih yg tidak terhingga, serta penghargaan & rasa kagum yg setinggi-tingginya kepada AKI DEWA saya sudah kerja sebagai TKI selama 9 tahun di Arab Saudi.,dengan gaji lebih kurang 5jt/bln, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,apalagi setiap bulan harus membayar kontarakan, sudah lama saya mengetahui dan juga sudah lama mendengar nama besar AKI DEWA,tapi saya termasuk orang yang tidak terlalu percaya dengan hal ghoib, jadi saya pikir ini pasti kerjaan orang iseng .yang mau menipu.tetapi kemarin saya memutuskan meranikan diri untuk mencoba menuruti rasa keraguan saya,tetapi ini smua di luar dugaan saya,
    angka yang telah diberikan AKI DEWA Alhamdulillah ternyata tembus 100% .mulanya saya bilang saya seorang TKI Yang kerja di Arab Saudi mau pulang tidak ada ongkos,
    terus beliau bantu kasih angka. mulanya saya tdk percaya,mana mungkin angka ini keluar, tapi dengan penuh pengharapan saya pasangin kali 100 lembar, sisa gaji bulan April ternyata berhasil….!!!
    dapat BLT 475jt, sekali lagi terima kasih banyak AKI DEWA saya sudah kapok kerja jadi TKI, rencana bulan depan mau pulang aja ke INDO.buat. AKI DEWA saya tidak akan lupa jasa
    bantuan dan budi baik AKI DEWA bagi teman2 tki dan tkw
    yang ingin merubah nasib dan sudah tidak sudi jadi tki dan tkw di negara org lain seperti saya silahkan hubungi KARAMA di nomor 085=222=500=175 belia akan menbantu yang pentin tulus dan iklas .demikian kisah nyata dari saya Wassalam,
    Demi allah ini kisah nyata dari saya rekayasa. situs beliau ==https://www.facebook.com/profile.php?id=100010574983208

    BalasHapus