ilustrasi |
Pagi itu, nenek Uni’ sudah sibuk membereskan barang jualannya yang akan dibawa ke Lubuk Antu, Serawak, Malaysia. Lubuk Antu merupakan kota kecil yang berbatasan langsung dengan wilayah kecamatan Badau, Kab. Kapuas hulu, Kalbar, Indonesia. Seperti biasanya, setiap minggunya nenek itu menyiapkan kurang lebih 50 kiloan salai lais, 50 kiloan ikan asin lais, sedikit salai bilis (ikan kecil yang diasap), dan aneka sayuran seperti terung asam, bayam kampoeng, sawi kampoeng, serta aneka pakis hutan dan pakis pantai.
Kadangkala, bawaan mereka bisa lebih banyak lagi bahkan terkadang sampai satu pick up. Semua bawaannya merupakan makanan yang langkah dan disukai masyarakat Serawak. Apalagi kalau ada pakasam atau jukut jane’ (daging babi yang diawetkan dengan garam dan sedikit nasi supaya terasa masam) pasti akan laris manis.
Tet…tet…tet… klakson mobil hilux Gus Dur (istilah mobil illegal di daerah perbatasan) sudah siap dihalaman rumah nenek Uni’. Itu berarti nenek Uni’ dan kawan-kawannya siap melaju dengan kreta (kata lain dari mobil untuk orang Serawak). Mereka akan diantar sampai di perbatasan, kota Badau, yaitu disuatu tempat yang biasanya mereka sebut batas sawit melalui jalan tikus yang sering mereka sebut jalan Jhon. Dari situ, mereka langsung mengganti kendaraan dengan kendaraan resmi Malaysia menuju Lubuk Antu.
Di Lubuk Antu, ada tempat berjualan yang disebut tempat betamu’ atau di daerah Jawa pasar Senin-Khamis karena hanya dibuka hari Senin dan Khamis saja. Tempat betamu’ hanya ramai dikunjungi oleh orang dari berbagai daerah Serawak pada hari Sabtu dan Minggu. Hari Sabtu dan Minggu merupakan saat yang tepat bagi nenek Uni’ dan kawannya mengais uang ringgit. Di pasar dadakan itu, mereka biasanya akan menjual salai laisnya Rm. 40 – Rm. 50/kilonya (Rp. 120.000 – Rp. 150.000), sedangkan modalnya biasanya berkisar Rp. 50.000, – Rp. 80.000, perkilonya. Sayur yang modalnya Rp. 1000/ikat di Serawak bisa dijual RM. 1, atau setara dengan Rp. 3000. Untuk memang lumayan!
Satu hal yang seringkali merepotkan nenek-nenek ini ketika hendak melalui batas Negara, yakni prilaku para oknum aparat TNI (Libas) dan Polisi Indonesia. TNI (Libas) dan Polisi membuat pos-pos yang tujuannya bukan hanya untuk pengamanan, tetapi seringkali menjadi ajang melakukan pungli terhadap bawaan mereka dan juga bagi para pedagang lainnya. Masing-masing pos meminta uang dalam jumlah yang berbeda tergantung dari jumlah barang yang mereka bawa.
Setelah jualan nenek Uni’ terjual habis, mereka pun biasanya membeli aneka barang Malaysia untuk dijual kembali di Lanjak, Kec. Batang Lupar, Kab. Kapuas Hulu, Kalbar, Indonesia. Barang yang biasanya mereka beli antara lain: gula, telur, snack, solf drink, dan aneka makanan beku seperti daging ayam, daging sapi, sosis, dan ikan laut. Konon katanya di Malaysia barang-barang itu jauh lebih murah. Misalnya saja, daging ayam modal di Malaysia Rm. 6/kilo atau Rp. 18.000/kilo di Lanjak bisa mereka jual Rp. 30.000 – Rp. 35.000/kilo. Jadi, berangkat untung dan pulangnya juga untung.
Saat nenek Uni’ CS ini berangkat ke Malaysia, mereka mendapat pungutan liar, pulangnya pun mereka akan mendapat perlakuan yang sama, yakni mendapat pungutan kembali. Lain halnya dengan tentara Kerajaan Malaysia yang lebih bersikap koorporatif dengan mereka.
Isu pembukaan border secara resmi sudah sering kali mereka dengar. Kalau tidak ada halangan pembangunan border dari pihak Malaysia tahun 2013 atau akhir tahun 2012 ini, border secara resmi sudah bisa dibuka. Hal ini, terkadang bukan menjadi berita yang dapat mengembirakan nenek Uni’ CS, tetapi justru mereka merasakan sebagai suatu ancaman. Apakah mereka masih bisa betamu’????
Tidak ada komentar:
Posting Komentar